Kamis, 05 Maret 2009

Cerita kaki langit (1)

Ada yang menyebutnya kaki langi, ada yang menyebutnya horizon. Aku lebih suka menyebutnya kaki langit. Tampak lebih enak diucapkan, dan terasa lebih puitis. Dari tempatku berdiri sekarang, juga tempat sampiyan berdiri, entah di mana, aku dan sampiyan selalu saja dapat melihat kaki langit. Bahkan bukan sekedar melihat, tetapi dapat menkira-kira letak kaki langit. Tapi percayalah perlajanan berpuluh hari tak dapat menjangkaunya. Jangan lagi berpuluh hari, perjalanan seumur hiduppun mungkin tak dapat menjangkaunya.

Cerita berikut aku maknai sebagai cerita kaki langit. Aku memandang cerita dengan takjub dan keinginan besar untuk menggapainya. Kalaupun toh tidak dapat menggapainya, tak apalah, tapi setidaknya aku sudah bergerak ke arah yang benar. Dan aku berusaha mendekatinya.

Ini sepenuhnya bukan cerita asing bagi sampiyan. Di banyak sore, saat ngaji di langgar dulu, guru ngaji kita bercerita tentang ini. Seorang lelaki amat santun sedang berjalan menyusur kali bening. Lapar yang menusuk bukan masalah besar bagi si tokoh. Sore hampir menjelang, di tengah sungai tampak sebuah delima hanyut terbawa air. Delima itu sangat ranum, masih menempel pada dahannya. Si lelaki tergoda dan tergerak meraihnya.

Belum tuntas pada kunyahan pertama, si lelaki membuncah kesadarannya. Delima ini tentulah milik seseorang. Lelaki itu merasa sangat bersalah, makan delima 'temuan' sebelum ada kepastian kerelaan dari pemiliknya.

Sampiyan ingat? berapa panjang perjalanan yang ia tempuh untuk mencari si pemilik? Sampiyan ingat? berapa tahun si lelaki harus menjaga kebun sebagai 'ongkos' kerelaan atas sebiji delima yang hanyut? Dan, lelaki amat santun ini melakoni itu semua untuk memastikan hanya yang halal yang ia makan.

Kelak, di tahun2 awal berumah tangga, ia mempunyai seorang putra. Jangan kaget kalau aku katakan putra si lelaki amat santun ini bernama: Imam Syafi'i. Ah..., sampiyan tentu paham, tentang Imam Syafi'i, yang menulis catatan ini tidak lebih paham dari membaca .

Si lelaki amat santun menyemai, dan ia memanen hanya apa yang ia semai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar