Selasa, 24 Maret 2009

Aku berguru kepada

Hidupku teramat penting untuk hanya aku sandarkan kepada guru-guruku di sekolah formal yang berjenjang-jenjang itu. Pak Trimo, Pak Anang, Pak Fanani, Pak Panggabean adalah orang-orang yang sangat mulia yang mengajari aku, masing-masing, saat aku di SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Saat itu beliau adalah guruku, dan sekarang beliau-beliau adalah guruku jua. Entry dalam kamusku tidak mengenal bekas guru, apatah lagi guru bekas. Beliau adalah guru-guruku, yang kepadanya aku berikan tawadluk dan takdzimku. Tetapi, tentu saja, dalam melakoni hidup ini, guru2ku bukan hanya beliau2 dan guru2ku lainnya di sekolah formal. Jumlah guruku kemudian menjadi sangat banyak jumlahnya dan bermukim di segala penjuru semesta.

Ketika ada orang sabar berinteraksi dengan aku, dalam hal kesabaran aku berguru kepadanya. Ketika ada orang santun bersapaan dengan aku, dalam hal kesantunan aku belajar kepadanya. Dalam hal yang sedikit berkebalikan, aku juga berguru kepada para pemarah dan para peng-ghibah. Menjadi pemarah itu alangkah jeleknya, maka aku belajar untuk tidak menjadi pemarah. Menjadi peng-ghibah itu alangkah nistanya, maka aku belajar untuk tidak menjadi pemakan bangkai saudaraku.

Dan, kepada film aku juga berguru. Harus aku akui, sering kali, film ini lebih dahsyat dalam mentransfer nilai dan menanamkannya dalam-dalam. Segala ‘input devices’ yang kita miliki disinergikan untuk menerima sesuatu nilai. Mata dimanjakan dengan visualisasi yang sangat elok, telinga dimanjakan dengan dentuman dan desiran yang mengiring gambar. Mata dan telinga disenirgikan untuk menerima sebuah ide.

Jadi, masalahnya terletak pada film apa yang kita tonton dan bagaimana kita menyikapinya? Maksud hati hendak berguru kepada maling untuk tidak menjadi maling, tetapi kalau kuda-kuda kaki kita tidak cukup kokoh menerima gempurannya, jangan2 malah kita yang jadi maling. Pripun?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar