Rabu, 02 September 2009

Tuhan pemegang saham mutlak

Kawan-kawan mahasiswa S2 mengundang aku berbuka puasa kemarin. Hebatnya lagi, dengan gagahnya mereka mendaulat aku memberikan tausiah. Siapalah awak ini. Alif bengkong saja tak sepenuhnya paham koq disuruh memberikan tausiah menjelang berbuka.

Tapi kesadaran akan posisi tamu menjadikan aku manut apa kata tuan rumah. Bismillah sekalimat dua kalimat aku omong, yang intinya begini:

Kalau awak ini perusaahan yang sudah 'go public', berapa persen saham yang dimiliki oleh Tuhan. Ndak usah berkerut dahi untuk menjawabnya, pasti 100 persen. Karena bahkan kita tak berkuasa untuk melarang bertambah panjangnya rambut kepala, sebagaimana kita juga tak mampu menyuruh tumbuh panjang rambut di alis kita. Itu baru urusan rambut, silahkan daftari hal2 lainnya.

Pemilik saham mayoritas mempunyai otoritas hampir penuh terhadap kebijakan dan arah perusahaan. Apatah lagi Tuhan yang memiliki seratus persen saham atas kita. Apa alasan kita untuk tidak manut kepadaNya.

Dan bacalah Al baqoroh 182: " ... diwajibkan puasa atasmu...". Tuhan mewajibkan kita berpuasa. Terus, apa alasanmu untuk tidak melaksanakannya sebaik-baiknya.

Senin, 30 Maret 2009

Dadi Wong. Jadi Manusia.

Nama aslinya sangat gagah. Juga inspiratif. Sabrang Mowo Damar Panuluh. Sepenuhnya Bahasa Jawa. Sabrang, menyeberang. Mowo, dengan. Damar, pelita. Panuluh, penyuluh, penerang. Dengan terjemahan leksikal seperti itu, monggo Sampiyan nak-nik sendiri apa arti dibalik nama itu? Dan kira-kira bapak dan ibunya menitipkan do’a apa pada nama itu untuk si anak. Tapi, apakah Sampiyan kenal dengan nama itu? Nama ini tidak banyak dikenal, nyaris terbenam oleh nama pop-nya: Noe-Letto.

Karena kedekatan budaya dengan bapaknya, aku diundang, dan karenanya, malam itu (26/3/09) aku datang pada acara ngunduh mantu si Noe Letto ini. Konsep dan tema acaranya sangat bagus: Paseduluran Tanpa Tepi dan di-running nyaris tanpa cela di pelataran Monumen Jogja Kembali. Persaudaraan Tanpa Tepi. Persaudaraan yang tak dibatasi oleh atribut artifial apapun. Karena sampiyan direktur maka sampiyan saudaraku, sama persis dengan: karena sampiyan tukang cukur maka sampiyan saudaraku. Benar-benar tanpa tepi. Karena sampiyan mahasiswa maka sampiyan saudaraku, sama persis dengan: karena sampiyan profesor maka sampiyan saudaraku.

Yang juga menarik malam itu adalah ular-ular yang diberikan oleh Gus Mus untuk mempelai. Yang aku maksud, K.H. Musthofa Bisri Rembang. Kalimatnya bersahaja dan sangat enak didengar. Dadio wong sing iso nguwongne wong. Jadilah manusia yang bisa memanusiakan manusia. Dalam peran sebagai suami, ambillah itu sebagai bekal. Dalam srawong sesama jadikanlah itu sebagai bekal. Bahwa di manusia terdapat salah dan kurang, itu pasti. Bahwa di seribu manusia terdapat seribu, bahkan mungkin seribu satu, karakter itu niscaya.

Selebihnya, monggo sampiyan hendak mengambil tafsir apa atas kalimat itu. Dadio wong sing iso nguwongne wong. Menjadi manusia yang dapat memanusiakan manusia.

Rabu, 25 Maret 2009

Belajar tidak menilai

Sudah sejak lama aku belajar untuk tidak membuat penilaian terhadap orang lain. Hasil penilaian bernilai valid hanya kalau pengetahuan dan pengenalan kita terhadap objek yang dinilai setidaknya ya 70-80 lah. Kurang dari itu pastilah ndak sip, untuk tidak mengatakan tidak valid.


Kepada seorang yang disangka maling, akupun tidak cukup berani untuk mengatakan ia maling. Benarkah aku telah mengenal nya selama 24 jam sehari, tujuh hari seminggu, 12 bulan setahun dan berlangsung bertahun-tahun. Benar belaka pada saat dan tempat tertentu, ketika ia sedang 'melakukan' maling, ia adalah maling. Tapi selebihnya? Dia adalah suami dari istrinya, bapak dari anaknya, paklik dari ponaknannya bahkan mungkin eyang dari cucu-cucunya. Berapa jam berapa hari ia 'berpredikat' maling? Berapa lama ia menjadi suami, menjadi bapak, menjadi paklik dan menjadi eyang? Kalau hanya di sepenggal waktu sangat pendek, dari sangat panjang waktu yang lintasi, ia menjadi maling, kemudian aku menilainya sebagai maling, betapa tidak proporsionalnya aku. Belum lagi dengan ketidak-tahuanku akan jawaban kenapa ia melakukan maling saat itu? dalam domain sosial seperti apa ia hidup dalam komunitasnya? di tata moral keluarga yang seperti apa ia dulu dibesarkan? Dan seterusnya...


Berapa kali Sampiyan terkaget-kaget oleh ketak-terdugaan berita di koran dan telivisi. Tokoh xyz yang kita kenal sangat baik tersandung masalah suap. Tokoh pqr yang sangat lembut tutur sapanya tersandung sandal sekretarisnya. Sebaliknya, bromocorah kelas kakap mno tempo dulu yang lantas menjadi juru dakwah. Tokoh dunia hitam belum lama berselang yang sekarang menjadi tokoh putih. Betapa tak terbilangnya arah perjalanan yang dilakoni manusia. Apa karena ia bernama manusia maka tidak linear jalan hidupnya. Tidak seperti berhitung, setelah satu, dua, tiga, pastilah empat. Setelah pagi, siang, sore, pastilah malam.

Bahkan kepada diri sendiri, yang aku mengikutinya dari detik ke detik, aku kuwalahan membuat penilaian apakah warna diriku. Setelah belajar dan memahami ini itu harusnya berwarna hijau, eh.... lha koq dibanyak kali menjadi agak merah bahkan sangat merah. Di kali lain malah hitam legam seperti bukan dirinya.


Selalu saja ada ketakterdugaan. Sahabat ini seumur-umur membangkang pada bapaknya. Kalau bapaknya bilang ke utara, ia pasti ke selatan. Kalau bapaknya bilang naik, kepastian baginya adalah turun. Kalau bapaknya bilang bekerjalah, ia pasti tidur tiga hari tiga malam. Kalau bapaknya bilang tidur, ia ambil layang2 dan bermain dari pagi sampai pagi tiga hari berikutnya. Alkisah, sahabat ini berjalan di perbukitan nan rimbun, jurang menganga di sana sini yang disamarkan oleh pohon-pohon yang meraksasa. Ia berjalan penuh keriangan, karena memang tidak tahu dua puluh meter di depannya ada jurang mematikan. Bapaknya tahu keadaan itu, sekaligus mengenali watak anaknya. Kalau ia bilang berhenti, si anak pasti akan berlari menyongsong kematiannya di dasar jurang. Maka, sang bapak memilih berteriak terus anakku, berjalanlah lebih cepat. Dan, ketak-terdugaan itu muncul bersamaan dengan pilihan si sahabat ini. Ah, seumur-umur aku selalu mbangkang dengan apa yang dikatakan bapak. Kali ini, biarlah aku mengikuti apa yang beliau katakan.



Duh Gusti... mugi paringo ing margi kaleresan, kados margine manungso kang panggih kanikmatan. Sanes margine manungso kang Paduko laknati.

Selasa, 24 Maret 2009

Aku berguru kepada

Hidupku teramat penting untuk hanya aku sandarkan kepada guru-guruku di sekolah formal yang berjenjang-jenjang itu. Pak Trimo, Pak Anang, Pak Fanani, Pak Panggabean adalah orang-orang yang sangat mulia yang mengajari aku, masing-masing, saat aku di SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Saat itu beliau adalah guruku, dan sekarang beliau-beliau adalah guruku jua. Entry dalam kamusku tidak mengenal bekas guru, apatah lagi guru bekas. Beliau adalah guru-guruku, yang kepadanya aku berikan tawadluk dan takdzimku. Tetapi, tentu saja, dalam melakoni hidup ini, guru2ku bukan hanya beliau2 dan guru2ku lainnya di sekolah formal. Jumlah guruku kemudian menjadi sangat banyak jumlahnya dan bermukim di segala penjuru semesta.

Ketika ada orang sabar berinteraksi dengan aku, dalam hal kesabaran aku berguru kepadanya. Ketika ada orang santun bersapaan dengan aku, dalam hal kesantunan aku belajar kepadanya. Dalam hal yang sedikit berkebalikan, aku juga berguru kepada para pemarah dan para peng-ghibah. Menjadi pemarah itu alangkah jeleknya, maka aku belajar untuk tidak menjadi pemarah. Menjadi peng-ghibah itu alangkah nistanya, maka aku belajar untuk tidak menjadi pemakan bangkai saudaraku.

Dan, kepada film aku juga berguru. Harus aku akui, sering kali, film ini lebih dahsyat dalam mentransfer nilai dan menanamkannya dalam-dalam. Segala ‘input devices’ yang kita miliki disinergikan untuk menerima sesuatu nilai. Mata dimanjakan dengan visualisasi yang sangat elok, telinga dimanjakan dengan dentuman dan desiran yang mengiring gambar. Mata dan telinga disenirgikan untuk menerima sebuah ide.

Jadi, masalahnya terletak pada film apa yang kita tonton dan bagaimana kita menyikapinya? Maksud hati hendak berguru kepada maling untuk tidak menjadi maling, tetapi kalau kuda-kuda kaki kita tidak cukup kokoh menerima gempurannya, jangan2 malah kita yang jadi maling. Pripun?

Selasa, 17 Maret 2009

Robbiii.... ilhamkanlah kpdku kemampuan utk bersyukur

Ah betapa susahnya aku, dan mungkin juga kita, mensyukuri segala anugrah. Sampai-sampai para bijak bestari menasehatkan agar dalam do'a do'a kita jangan lupa menyisipkan: "Ya Alloh.... ilhamkanlah kepada kami kemampuan untuk bersyukur atas segala nikmat yang telah Paduka anugrahkan kepada kami..."



Seringkali kali aku baru tergerak untuk bersyukur kalau anugrah itu sebesar bukit. Itupun seringkali baru sebatas bersyukur secara verbal, mengucap Alhamdulillah. Sedangkan anugrah2, yang katakanlah tak sebesar bukit, aku abai. Tapi, adakah anugrah yang tak sebesar bukit? Jangan2 kita yang teramat pandir dan mengatakan Gunung Semeru tak lebih besar dari seekor katak.



Benarkah tak pusingnya kepalaku, tak sakitnya gigiku, tak mapetnya hidungku adalah anugrah tak sebesar bukit? Dan karenanya, aku tak tergerak untuk mensyukurinya?



Oohhh.... pandirnya aku yang selalu terlambat menyadari adanya anugrah itu hanya pada saat anugarah itu diambil oleh-Nya, meski hanya sebentar. Terasa benar nikmatnya tak pusing kepala, justru pada saat sakit kepala. Terasa benar nikmat tak sakit gigi, justru saat sakit gigi. Terasa benar nikmatnya hidung tak mampet, justru pada saat hidung mampet.



Gusti..... Nyuwun agunge pangapunten.

Selasa, 10 Maret 2009

Oleh2 dari Poncokusumo

Seorang kawan mengajakku silaturahim ke seorang kawan di Poncokusumo. Daerah ini luar biasa indah, sisi timur Malang yang sudah sangat dengan Bromo, di kaki perbukitan Tengger. Kata penyair, seolah sepenggal taman surga pernah 'cuwil' dan cuwilan itu jatuh di Poncokusumo ini.

Siang itu kami duduk melingkar di ruang tamu beliau. Kami makan siang dengan sangat lahap. Para santri, maksudku santri beliau, melayani dengan tingkat ke-tawadluk-an yang kayaknya aku belum pernah lihat ada mahasiswa begini tawadluk ke dosennya. Kami berbincang dengan tuan rumah sangat gayeng. Tentang banyak hal. Tentang cerita2 yang dalam tulisan kemarin aku sebut cerita kaki langit.

Dua Imam besar ini bersahabat. Saling berkunjung bersilaturahim di waktu2 senggang. Yang satu menjamu yang satu dijamu. "Aku amat menikmati setiap hidangan yang Sampiyan sajikan. Aku menikmati dengan tingkat kepuasan sangat tinggi. Karena aku tahu, yang Sampiyan sajikan pastilah sepenuhnya halal. Dan, itu menjadikan ibadahku terasa sangat enteng, dan terasa amat lezat".

Mudah2an ingatanku masih sangat baik. Kedua Imam yang aku tulis diatas adalah Imam Syafi'i dan Imam Hambali.

Boleh aku bertamu ke tempat Sampiyan agar aku juga dapat menikmati kelezatan dalam beribadah?

Minggu, 08 Maret 2009

Cerita kaki langit (2): Menggendong ibuku.

Setiap kali ingat ibuku nan jauh di kampung halaman, aku ingat cerita ini. Seolah tiba-tiba saja aku dihadapkan pada sebuah cermin, yang dengannya aku menjadi tahu, dan harus aku katakan, belum seujung kuku apa yang telah aku lakukan pada ibuku.

Di sebuah musim haji ketika itu, seorang sahabat menemui Rosululloh SAW.

"Ya Rosul, dengan segenap takdzim dan tawadlukku, aku telah menggendong ibuku selama tiga bulan ini. Beliau ingin sekali menunaikan ibadah haji, dan aku telah menggendongnya melintasi terik padang pasir, dari kampung halamanku sampai ke Mekkah ini. Tidak kurang dari tiga bulan lamanya. Apakah cukup takdzim dan tawadlukku kepada ibuku?"

Sangat kebapakan, dan singkat sekali Rosululloh menjawab, "Belum."

Hemmm.... Kalau aku meng-akumulasikan segala hal yang telah aku lakukan untuk ibuku sampai hari ini, dan kemudian aku konversikan kedalam hari-gendong-panas-terik, ah... rasanya tak lebih dari satu hari-gendong-panas-terik. Tidak lebih. Bahkan, mungkin kurang.

Indahnya hari2 Sampiyan semua, karena Sampiyan telah jauh melampaui aku. Kuantisasi takdzim dan tawadluk Sampiyan ke ibu Sampiyan tentulah sudah dekat dengan angka 30 hari-gendong-panas-terik.