Rabu, 25 Maret 2009

Belajar tidak menilai

Sudah sejak lama aku belajar untuk tidak membuat penilaian terhadap orang lain. Hasil penilaian bernilai valid hanya kalau pengetahuan dan pengenalan kita terhadap objek yang dinilai setidaknya ya 70-80 lah. Kurang dari itu pastilah ndak sip, untuk tidak mengatakan tidak valid.


Kepada seorang yang disangka maling, akupun tidak cukup berani untuk mengatakan ia maling. Benarkah aku telah mengenal nya selama 24 jam sehari, tujuh hari seminggu, 12 bulan setahun dan berlangsung bertahun-tahun. Benar belaka pada saat dan tempat tertentu, ketika ia sedang 'melakukan' maling, ia adalah maling. Tapi selebihnya? Dia adalah suami dari istrinya, bapak dari anaknya, paklik dari ponaknannya bahkan mungkin eyang dari cucu-cucunya. Berapa jam berapa hari ia 'berpredikat' maling? Berapa lama ia menjadi suami, menjadi bapak, menjadi paklik dan menjadi eyang? Kalau hanya di sepenggal waktu sangat pendek, dari sangat panjang waktu yang lintasi, ia menjadi maling, kemudian aku menilainya sebagai maling, betapa tidak proporsionalnya aku. Belum lagi dengan ketidak-tahuanku akan jawaban kenapa ia melakukan maling saat itu? dalam domain sosial seperti apa ia hidup dalam komunitasnya? di tata moral keluarga yang seperti apa ia dulu dibesarkan? Dan seterusnya...


Berapa kali Sampiyan terkaget-kaget oleh ketak-terdugaan berita di koran dan telivisi. Tokoh xyz yang kita kenal sangat baik tersandung masalah suap. Tokoh pqr yang sangat lembut tutur sapanya tersandung sandal sekretarisnya. Sebaliknya, bromocorah kelas kakap mno tempo dulu yang lantas menjadi juru dakwah. Tokoh dunia hitam belum lama berselang yang sekarang menjadi tokoh putih. Betapa tak terbilangnya arah perjalanan yang dilakoni manusia. Apa karena ia bernama manusia maka tidak linear jalan hidupnya. Tidak seperti berhitung, setelah satu, dua, tiga, pastilah empat. Setelah pagi, siang, sore, pastilah malam.

Bahkan kepada diri sendiri, yang aku mengikutinya dari detik ke detik, aku kuwalahan membuat penilaian apakah warna diriku. Setelah belajar dan memahami ini itu harusnya berwarna hijau, eh.... lha koq dibanyak kali menjadi agak merah bahkan sangat merah. Di kali lain malah hitam legam seperti bukan dirinya.


Selalu saja ada ketakterdugaan. Sahabat ini seumur-umur membangkang pada bapaknya. Kalau bapaknya bilang ke utara, ia pasti ke selatan. Kalau bapaknya bilang naik, kepastian baginya adalah turun. Kalau bapaknya bilang bekerjalah, ia pasti tidur tiga hari tiga malam. Kalau bapaknya bilang tidur, ia ambil layang2 dan bermain dari pagi sampai pagi tiga hari berikutnya. Alkisah, sahabat ini berjalan di perbukitan nan rimbun, jurang menganga di sana sini yang disamarkan oleh pohon-pohon yang meraksasa. Ia berjalan penuh keriangan, karena memang tidak tahu dua puluh meter di depannya ada jurang mematikan. Bapaknya tahu keadaan itu, sekaligus mengenali watak anaknya. Kalau ia bilang berhenti, si anak pasti akan berlari menyongsong kematiannya di dasar jurang. Maka, sang bapak memilih berteriak terus anakku, berjalanlah lebih cepat. Dan, ketak-terdugaan itu muncul bersamaan dengan pilihan si sahabat ini. Ah, seumur-umur aku selalu mbangkang dengan apa yang dikatakan bapak. Kali ini, biarlah aku mengikuti apa yang beliau katakan.



Duh Gusti... mugi paringo ing margi kaleresan, kados margine manungso kang panggih kanikmatan. Sanes margine manungso kang Paduko laknati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar